Sebuah laku kehidupan yang mengalir dan menerima apa adanya sering kali merupakan pertahanan terakhir bagi mereka yang tertindas dan termarginalkan dari kehidupan hiruk-pikuk dunia yang penuh muslihat dan tipudaya. Sifat inilah yang menjadi karakter orang-orang miskin dan teraniya. Mungkin hanya dengan sikap itulah mereka dapat terhibur dan terselamatkan. Inilah sikap yang dimiliki para buruh desa dan para kuli bangunan serta para tukang becak atau pedagang sayur di pasar pagi.
Dan hidup penuh dengan kelapangan menerima apa yang datang dan apa yang pergi tanpa pernah mempersoalkan kenapa, inilah yang aku jumpai pada diri Mas Suprihatin. Mas Suprihatin memang telah menjadi seorang bapak dari seorang balita kecil, tentu saja hasil buah cinta dengan isterinya. Tetapi pola hidup yang ia jalani dan kerjakan menimbulkan dan menumbuhkan perasaan yang begitu dalam dari dasar hatiku. Cara ia bekerja sebagai buruh menimbulkan banyak simpati dikarenakan sikap tanggung jawab dan tak kenal lelahnya. Orang selalu senang dan puas dengan hasil kerjanya. Tidak salah orang tuanya memberikan nama; Suprihatin. Mengikuti setiap langkah kerjanya, di relung jiwa dan raganya, agama Islam merupakan suatu jalan hidup yang selalu percayai dan lakoni dengan ketulusan dan keluguan.
Pernah ia bercerita kala ia disuruh menebang kayu selama tiga hari di tempat seorang tetangga—dari pekerjaan seperti inilah ia bisa menghidupi istri dan seorang anaknya. Dari upah yang tiada seberapa inilah ia bisa makan dan minum sekedarnya. Namun, apa lacur, begitu teganya tetangganya tidak membayar upah kerja tiga hari tersebut. Bahkan malah memberikan suatu alasan bohong bahwa upahnya telah diberikan kepada orang tuanya. Padahal sama sekali tetangganya tersebut tidak memberikan sepeser uang pun kepada orang tuanya.
Ia kemudian mengatakan bahwa bergejolaklah emosi dan perasaannya, nada kemarahan hadir dalam narasi ceritanya. Aku sangat yakin dari nada ucapannya ia menyimpan kemarahan. Ingin sekali ia mengumpat tetangganya waktu itu, akan tetapi agama Islam menuntutnya untuk tidak marah atau mengeluarkan serapahan kepada orang lain. Walaupun kejadian itu menghancurkan kepercayaannya kepada tetangganya dan menciptakan kebencian, ia memilih sikap diam. “Tidak ada gunanya saya mengaji kesana-kemari kalau saya mengumpat orang itu.” Demikian kata-katanya mencoba menenangkan perasaannya.
Hidup yang sederhana dan seadanya di jaman yang penuh mimpi dan harapan serta kemegahan kota yang ditampilkan di media cetak dan elektronik memang bukan suatu sikap hidup yang mudah. Namun keterpaksaan hiduplah yang menjadikan sikap ini berkembang dan menjadi suatu aliran karakter dalam diri sebagian orang (mungkin juga sebagian besar buruh) yang hidup di Muntilan. Dan dalam diam, kusanjung dan kuhormati keberadaan sikap mereka. Kemuliaan dan kebesaraan hati aku haturkan setinggi-tingginya kepada kalian yang memegang sikap hidup seperti itu.
0 Responses to “A Humble Man from Muntilan; A True Story of The Marginal People”