Aku tidak ada keraguan sedikitpun untuk mengatakan bahwa Novel Para Priyayinya Umar Kayam merupakan suatu gambaran masyarakat jawa yang paling elaboratif dari karya yang lain yang pernah ada. Namun hal tersebut dengan sedikit catatan bahwa penilaianku tersebut berada pada gambaran kalangan menengah dari masyarakat jawa. Kenapa aku mensyaratkan hal tersebut? Karena aku juga mempunyai penilaian lain mengenai gambaran masyarakat jawa pada level yang paling merakyat yaitu pada level masyarakat bawah (dusun), level rakyat jelata. Untuk penggambaran masyarakat bawah ini aku lebih memilih Ronggeng Dukuh Paruknya Mohammad Sobari Ahmad Tohari. Bahkan novelnya Sobari Tohari ini juga memiliki akses ke bahasa asli Jawa jelata itu sendiri yaitu novel dengan bahasa dan dialek Banyumasan.
Walaupun aku sebenarnya lahir di Jawa dan memiliki darah keturunan Jawa namun perkenalanku dengan budaya Jawa tidaklah tercapai lewat pola pendidikanku di rumah. Bahkan bisa kukatakan kalau aku hampir nyaris tidak mengenal budaya Jawa. Mungkin hal yang melekat erat di diriku dari segi Kejawaan hanyalah bahasa Jawa yang aku pakai sebagai sarana komunikasi keseharianku. Dengan demikian, perkenalanku dengan budaya Jawa malah lebih banyak terpenuhi melalui proses pembacaanku pada Novel-novel yang berlatar Jawa. Walaupun sempat juga aku berkeinginan untuk memperlajari budaya Jawa ini melalui media literatur yang lebih ilmiah seperti karyanya Frans Magnis Suseno yang berjudul Etika Jawa. Walaupun demikian aku selalu saja menilai bahwa budaya jawa memiliki ciri yang spontan. Artinya dari segi filosofi sangat sulit untuk menyatukan dalam satu argumen yang utuh yang saling kait-mengait setiap filosofi yang berkembang dalam masyarakat Jawa. Keadaan ini tidak hanya aku rasakan ketika membaca karya-karya berlatar budaya Jawa seperti miliknya Umar Kayam atau M Sobari, tetapi dengan mengamati praktek ritual kehidupan sehari-hari masyarakat Jawa, aku juga menemui kebuntuan pemahaman. Tetapi yang paling aku mengerti atas filosofi Jawa adalah filosofi Jawa berkutat pada lingkaran persoalan jalan hidup. Maksudnya adalah filosofi jawa merupakan suatu upaya untuk menjalani kehidupan dengan cara tertentu yang disebut dengan cara Jawa. Jalan ini ternyata aku temui masih memiliki kaitan erat dengan model hierarki derajat pemisahan masyarakat dalam agama Hindu.
Kembali ke Karyanya Umar Kayam dan M. Sobari Ahmad Tohari. Salah satu karya Umar Kayam yang paling aku gemari malah bukan karya novelnya Para Priyayi atau Jalan Menelikung, melainkan karya-karyanya dalam bentuk cerpen. Cerpen yang paling menarik dan paling menggugahku adalah cerpennya yang berjudul Seribu Kunang-kunang di Manhatan. Dalam novel ini alur cerita yang mengalir tenang dengan penekanan dialog tokoh-tokohnya yang dalam dan unik, tanpa meninggalkan kesan santai dan realistik, selalu saja menjadikanku terkagum-kagum. Sedang untuk M Sobari Ahmad Tohari aku hanya sempat membaca karya utamanya yang paling terkenal yaitu Ronggeng Dukuh Paruk, sehingga aku tidak memiliki cukup dasar penilaian kepadanya.
duh, kayaknya ada yang salah deh. “Ronggeng Dukuh Paruk” adalah bagian pertama dari trilogi, berikutnya adalah “jentera Bianglala” dan “Lintang Kemukus Dini Hari” adalah karya AHMAD TOHARI dan bukan Muhammad Sobari. Keduanya beda nama dan beda orang. Setahu saya, sampai saat ini Mohammad Sobari belum pernah menulis novel. Sedangkan Ahmad Tohari bahkan sudah menyempurnakan triloginya tersebut dengan memuat kembali seluruh bagian yang “dipotong” oleh gramedia atas alasan keamanan pada saat itu.
Semoga informasi ini membantu.
@la:
Yup: Makasih koreksinya dan Penjelasannya :)
ROnggeng DUkuh Paruk yang saya maksud diatas termasuk triloginya. Salam Kenal
dalam hal ini saya lebih awam daripada anda tentang budaya, filosofi, jawa tetapi bila anda mempunyai minat yang besar saya sarankan untuk menggali teks2 jawa kuno kalau bisa dimulai pra hindu. alangkah indahnya ada punjangga berbahasa jawa yang brilian di abad ini. yang saya harapkan ketertarikan ini tidak seperti saya yang hanya tanggung2 saja.
umar kayam, manusia ulang alik, judul biografi umar kayam yang ditulis muhammad lutfi, belum pernah baca tapi sempat ikut launching bukunya. sepertinya menarik untuk dibaca
ah dah lama gak baca saya….
orang-orang proyek-nya ahmad tohari keren juga
Jangan2 suluh belum pernah membaca Ronggeng Dukuh Paruk-nya Tohari nih, sehingga salah tulis M. Sobari. Barangkali karena Sobari pernah jadi pejabat, jadi lebih ngetop? Apalagi urut2an triloginya salah.
@gondes:
kejadiannya tuh.. begini: saya sudah lama bacanya, terus kepengin nulis. eh seingat otakku aja. tanpa buka2 lagi buku atau novel itu.. kalau urutannya salah ya maaf… he he he… wong nulis sekenanya aja kok. btw saya jarang ngedit tulisan saya. kalau ada yang komplain atau ngoreksi baru saya edit.. maklum bukan tulisan layak jual atau tulisan di koran atau buku…
pernah dengar lelucon wartawan republika yang tidak bisa membedakan ahmad tohari dengan moh. sobari?
Melalui Ronggeng Dukuh Paruk, Ahmad Tohari ingin menggugat “kebenaran” sejarah melalui kenyataan yang dilihat dan dirasakannya sendiri. Bukan berdasarkan keyakinan yang diideologikan atau dimobilisasikan dari atas. Kebenaran yang ingin ditegakkannya adalah ‘kebenaran kemanusiaan’. Yang ingin digugat Ahmad Tohari adalah hakikat dan substansinya, bukan simbol dan periferi. Karya ini memang sengaja dibuat Ahmad Tohari untuk mewartakan sejarah kekejian masa lalu: sebuah kebenaran.