Suatu pagi, selagi membuang hajat, aku memikirkan asal muasal dari emosi diri. Tiba-tiba secara serta merta terpikir olehku tanya akan sumber dari emosi diri. Yang kumaksudkan dengan sumber asal dari emosi ini tidak berpijak dari kaca mata materialis empiris melainkan dari sudut realis atau idealis transedental. Yang aku maksud dengan muasal bukan suatu rangkaian mekanisme syaraf perasa manusia yang bermuara pada suatu organ yang disebut dengan otak. Secara materialis empiris, emosi kita berkaitan dengan kerja mekanis dari bagian-bagian otak kita. Mekanisme yang biasa disebut-sebut sebagai sumber dari emosi kita terletak dibagian otak yang disebut dengan amigdala. Pernah aku mengetahui lewat sebuah pembacaanku terhadap penemuan arsitektur otak emosi ini mengungkapkan bahwa jika bagian otak tertentu yang mengatur perasaan marah kalau dipicu dengan sebuah kejutan listrik maka perasaan marah akan muncul dalam diri seseorang tersebut. Demikian pula jika bagian otak yang berperan sebagai pembangkit perasaan bahagia dipicu, maka kebahagian akan terlahir dalam diri seseorang tersebut. Salah satu contoh yang tak dapat dipungkiri dari bukti ini adalah digunakannya obat-obatan tertentu untuk mengekang rasa marah atau untuk menimbulkan kegembiraan yang sangat. Narkoba merupakan contoh kuat dalam mempengaruhi kerja otak bagian tertentu sehingga perasaan bahagia yang teramat sangat inten dapat dimunculkannya.
Namun bukan mekanisme tersebut yang ingin aku ketahui mengenai perasaan atau emosi ini. Yang ingin aku ketahui adalah bagaimana hal tersebut bisa muncul dalam diriku? Kenapa ia begitu mempengaruhi diri aku? Kenapa hal tersebut sungguh-sungguh berarti bagiku? Marah sebagai marah. Senang sebagai senang. Sedih sebagai sedih. Gelisah sebagai gelisah. Rindu sebagai rindu. Cinta sebagai cinta.
Walaupun aku sudah berusaha untuk menerima penjelasan materialis empiris tersebut, dan walaupun aku sudah ditunjukkan bahwa penjelasan materialis empiris tersebut merupakan suatu penjelasan yang mengandung unsur prediksi dan kontrol yang bagus, aku masih terus dihinggapi pertanyaan kenapa bisa muncul perasaan tersebut? Aku terus saja merasa bahwa penjelasan materialis empiris tersebut selalu saja kurang lengkap dalam menjawab pertanyaan aku? Sebuah ranah penjelasan filosofi yang dalam dan menyeluruh secara transendental sangat aku harapkan dapat digali sehingga pertanyaanku minimal dapat ditangani (tidak harus dijawab).
Hal ini serupa dengan pertanyaanku mengenai asal muasal kehidupanku? Bagaimana aku bisa hidup dan memiliki kelimpahan perasaan? Bagaimana aku memiliki kehendak bebas atau pilihan bebas? Pertanyaan ini tidaklah cukup hanya diberikan jawaban secara materialis empiris dengan mengatakan bahwa kita berasal dari sel sperma dan sel telur yang terbuahi sehingga berkembang di dalam rahim selama beberapa bulan menjadi seorang bayi mungil yang kemudian lahir melalui seorang perempuan. Rasa-rasanya ada yang kurang lengkap dengan jawaban seperti ini.
Keinginan jawaban atau setidaknya penjelasan secara realis atau idealis transendetal yang kumaksud di atas tidak lalu diterjemahkan sebagai penjelasan dari sudut pandang keagamaan. Bagiku sudut pandang keagamaan kurang begitu aku terima karena sifat dogmatisme yang terlahir dari padanya. Penjelasan bahwa hal tersebut (emosi dan kehendak bebasku) terlahir dikarenakan oleh Tuhan tidak lalu memuaskan pertanyaanku. Alih-alih hal tersebut justru memperdangkal pertanyaan itu sendiri. Yang ingin aku ketahui adalah sebuah penjelasan melalui sebuah upaya rasional yang terlahir dari suatu pandangan idealis maupun realis yang tidak berpijak pada mekanisme materialis empiris tetapi berpijak pada pengalaman akan emosi diri itu sendiri.
Sebenarnya aku sudah menemukan sedikit penjelasan mengenai hal tersebut, terutama mengenai kehendak bebas, lewat tangan Schopenhauer namun aku masih merasa belum puas. Perasaan-perasaanku maupun kehendak-kehendakku begitu nyata dalam diriku sehingga hal tersebut menjadikanku seolah-olah makhluk yang lepas dari hukum-hukum empiris. Penjelasan secara psikologis lewat tangan beberapa psikolog sepert Frued, Jung, Maslow, Frank dan yang lainnya tidak cukup memberikan jawaban yang memadai. Mereka cenderung merangkum dan mendiskripsikan akan emosi-emosi tanpa pernah mengembangkan suatu filosofi yang jernih mengenai keberadaan emosi-emosi tersebut.
Aku harap ada seseorang yang membaca gairah keingintahuanku ini yang kemudian memberikan suatu alternatif jawaban yang bisa mencerahkan pemahamanku atas emosi-emosi dalam diriku. Entah siapa… entah kapan… entah bagaimana….
wah itu proses menjawabnya panjang, ga cukup dengan mengetik komentar singkat di sini :).
tips saya, coba main-main ke filosofi Timur (jika mau pake orientasi Barat-Timur). Terutama dari aliran Buddha Theravada, buat saya penjelasannya sederhana dan tepat sasaran. Yand ditekankan bukan setumpuk teori, tapi eksperiental. Jadi mengerti karena mengalami sendiri, bukan karena dijejelin teori dari kanan kiri. Mungkin bisa membawa angin segar.
Do not believe, because wise man say so.
Do not believe, because it has always been that way.
Do not believe, because others may believe so.
Do not believe, because the holy scripts say so.
Examine and experience yourself.
– Kalama Sutta –
Wah sorry yang mo diketik malah kelupaan.
Di aliran Buddha Theravada mengenai asal muasal emosi (proses mental) ada penjelasannya dalam prinsip ‘Dependent origination’. Cari aja di internet.
Semoga membantu.
@Shinta:
Makasih atas infonya…
Sayang masih belum juga menjawab gelora tanyaku…:(
Schopenhauer juga banyak seide dengan aliran Buddhisme… walaupun mereka beranjak dari pemikiran masing masing…
@pemilik blog
itu musti dijawab sendiri (baca: dipahami sendiri), dan itu proses, jadi saran saya, dinikmati saja prosesnya :)
Kalo minjem tulisan Hermann Hesse, “wisdom is not communicable”. Saat berusaha diuraikan dengan kata-kata, jadi truncated.
aku seringkali menulis ketidak tahuan dan sampai saat ini pun sebenarnya pertanyaannya adalah sama dengan apa yang sempat terlintas dalam pikiranmu
hehehe…. mungkin jg ada yang bisa pahami bahasaku
Aku mungkin tahu jawabannya, sama ketika aku mulai bercermin dan melihat diriku di dalamnya.
Dimana ada rasa yang mengukir setiap emosiku, ada mau yang memastikan langkahku dan ada hati yang membuat gejolakku tak menentu.
Tapi seberapa dan bagaimana untuk memiliki serta membuangnya, mungkin itu sedikit perbedaannya.
Ketika ada yang menanyakannya
he he he masih ada yang kececer dari coretanku…mungkin cukup menghentikan pertanyaan dan keinginan tahumu…..
Pada suatu ketika, orang menanyakan padaku tentang arti hidup dan apa yang aku mau dari hidupku.
Tapi anehnya, aku tak pernah tahu pasti dengan jawabanku dan aku hanya diam.
Pernah ketika aku berusaha untuk menjawab dan menjelaskannya, aku rasa semua sudah mengerti dan punya jawabannya, dan aku berfikir untuk apa aku harus tahu pasti dengan jawabanku dan mengerti akan pertanyaan – pertanyaan itu.
Karna memang sesungguhnya aku punya juga tujuan hidup dan mengerti benar akan arti hidupku, yang dimana orang lain sangatlah sulit untuk memahami dan mengerti akan semua itu.
Tapi kupikir, sebenarnya tidaklah beda dengan yang lain dengan apa yang sekarang ada pada diriku. Andaikata lain, mungkin itulah yang membuat hidup ini akan lebih berarti dan memacu untuk menjadi yang lebih baik lagi.
@anak jin:
Makasih… mau berbagi… dan juga… atas… pemahamannya…
Cukup simpel… hmm… gimana ya?
Ada yang ingin menyusul?
Ketika komponen-komponen subatomik bekerja untuk menimbulkan apa yang disebut rasa, cita rasa, emosi padahal itu tidak lebih dan kurang efek dari kimiawi fisik, lalu siapa sesungguhnya yang membaca pengaruh-pengaruh kimia itu sehingga otak menerjemahkannya kembali sebagai gejolak emosi?.
emosi adalah manifestasi dari naluri untuk mempertahankan diri yang ada pada setiap manusia. emosi sifatnya melekat pada manusia, bahkan pada semua makhluk hidup. dari penemuan seorang jepang, air ternyata juga mempunyai emosi. suka, marah, bahagia, sedih, dan lain sebagainya terungkap dan muncul dalam keseharian dalam kaitan interaksi dengan diri kita sendiri ataupun dalam kaitan interaksi dengan manusia dan makhluk lainnya.
tentang kenapa manusia dan makhluk hidup mempunyai naluri untuk mempertahankan diri yang salah satu manifestasinya adalah emosi, ini tentu saja sangat terkait dengan jawaban tentang asal muasal kehidupan. ketika pertanyaan mengenai asal muasal kehidupan masih belum mendapatkan jawaban, tentu saja pertanyaan mengenai dari mana asalnya emosi pun tidak terjawab. :)
salam kenal..mas suluh saya sangat tertarik dengan tulisan tulisan anda,kalau mas berkenan..jika ada tulisan tulisan terbaru kirim dong ke e-mail saya trim’s