Dalam benak kesadaranku, aku semakin yakin bahwa yang dinamakan cinta dengan segala perasaan yang mengikutinya merupakan sebuah emosi yang sementara. Selama satu minggu ini saya mengalaminya sekaligus menikmati pahit getir serta suka citanya. Sekali lagi saya juga disadarkan oleh pengalaman emosi tersebut bahwasanya cinta juga seringkali dipengaruhi oleh objek cinta itu sendiri di samping dipengaruhi oleh diri sadar atau tak sadar subjek cinta itu sendiri. Beberapa waktu yang lalu saya juga sempat memberikan sebuah pertanyaan kepada beberapa teman saya apakah ada cinta yang tidak memerlukan objek cinta. Dan ternyata tidak ada satupun dari teman saya yang menjawabnya, mungkin saja mereka tidak begitu tertarik dengan persoalan tersebut atau bisa jadi memang tidak ada cinta yang tak berobjek. Cinta yang sudah cukup dengan rasa cinta itu sendiri.
Namun demikian saya juga menyadari ada suatu cara untuk menciptakan cinta tanpa objek tertentu (atau kalau tidak, ada kemungkinan untuk menciptakan) melalui rekayasa neurobiologi otak kita. Dalam beberapa penelitian yang dilakukan oleh sejumlah neurolog diketahui atau dipahami sebuah peta emosi otak yang mengatur atau setidaknya bertanggung jawab atas emosi kita sendiri. Dengan demikian yang saya maksud dengan peta emosi otak disini ditinjau dari pendekatan materialis empiris khas ilmu kedokteran syaraf. Dengan memicu bagian otak tertentu kita bisa menciptakan atau menghilangkan emosi kita, entah itu marah, sedih, gembira senang dan sebagainya. Tapi seperti yang pernah saya tuliskan (lihat Website saya haqiqie.co.nr) saya tidak begitu saja puas dengan penjelasan neurobiogi yang khas materialis empiris ini.
Cinta sebagai sebuah emosionalitas, bercermin dari kesadaran atas emosi cinta yang saya alami sendiri, memang merupakan sebuah pengalaman unik dan special. Gelora perasaan yang dibangkitkan oleh emosi cinta memang sangat berbeda dengan emosi yang lain yang pernah saya alami. Kehendak untuk memiliki dan mengharap kesatuan dengan objek cinta begitu dalam sehingga membangkitkan rasa panas di dada yang menggelisahkan tubuh serta pikiran saya sendiri. Dan ternyata hal tersebut bertambah intensitasnya ketika objek cinta yang kita cintai mengatakan setuju. Dan kekecewaan yang terjadi juga bertambah intensitasnya ketika objek cinta yang kita cintai mengatakan ketidaksetujuannya. Saya bersyukur pernah mengalaminya, walaupun akhirnya saja juga harus mengendalikannya agar tidak menghancurkan diri saya sendiri. Saya juga memiliki keyakinan bahwa emosionalitas kita, senang, sedih, dan sebagainya bisa setidaknya diperkecil atau diperbesar intensitasnya melalui kehendak sadar yang terlintas atau terbenaki di keinsafan diri kita.
Dengan demikian, emosionalitas cinta dalam taraf kehendak kesadaran kita bisa berubah menjadi aktivitas cinta. Maksudnya adalah rasa cinta dapat menjadi kerja cinta. Walaupun pernyataan tersebut seolah-olah sudah terbukti dengan sendirinya namun ada suatu pertanyaan lanjutan dari kesimpulan tersebut. Apakah pernyataan tersebut dapat berlaku sebaliknya? Apakah kerja cinta dapat menumbuhkan rasa cinta. Dalam banyak tulisan mengenai cinta, didapatkan bahwa hal tersebut dapat dilakukan. Namun apakah anda juga dapat mempercayainya? Apakah yang dimaksud kerja cinta? Silahkan anda mencari dan membuktikannya sendiri…
Di kesadaran akan fananya rasa cinta
Saya pernah terperosok di dalamnya
Imaji harapan berfantasi di raga benakku
Sebelum perlahan sirna di telan keinsafan akan kekinian..
0 Responses to “Emosionalitas Cinta: Sebuah Jejak Kesadaran”