Sebagai seorang yang memiliki kecenderungan untuk berfikir secara privat, saya cukup terguncang ketika menyimak syairnya Ibn al ‘Arabi tersebut. Syair yang mengingatkan saya akan sebuah upaya untuk menghapuskan atau setidaknya menyingkirkan belenggu ketertundukan pada sebuah nama. Lebih jelasnya upaya untuk menyisihkan atau meminggirkan sosok pribadi dalam menilai sesuatu. Menurut si Ini, menurut si Itu, menurut Buku ini, menurut Kitab ini, dan sebagainya. “Si A berkata begini”, “Si B berkata begitu”, dan lain sebagainya. Inilah yang disebut dengan lautan nama-nama yang mendatangkan gelombang tsunami yang kemudian menghanyutkan segala upaya penyelidikan dan pemahaman kita akan yang namanya “kebenaran dan kebajikan” (apapun itu artinya).
Selamatkan kami, ya Allah, dari lautan nama-nama!
Letak benar tidaknya, atau bagus tidaknya, atau indah tidaknya sesuatu tidak ternisbahkan pada sebuah sosok atau nama. Letak kuat tidaknya sebuah argumen atau sebuah proposisi terletak pada isi dari argumen atau proposisi itu dalam dirinya sendiri. Sebuah nama yang membuka atau mengutarakan atau menyuarakan argumen bukanlah sebuah unsur nilai dari benar tidaknya sesuatu. Seberapapun besar nama seseorang tidaklah kemudian secara musti menjadi sebuah kriteria kebenaran atau kebaikan. Kebaikan atau kebenaran terletak pada esensi laku dari kebaikan itu sendiri maupun kebenaran itu sendiri. Ia terlepas dari sosok seseorang atau nama seseorang atau sesuatu.
Selamatkan kami, ya Allah, dari lautan nama-nama!
Saya sering terpukau dengan nama besar seseorang. Saya sering terlena dengan megahnya sebuah nama. Dalam kehidupan saya, saya selalu saja terkena tsunami dari lautan nama-nama ini. Bahkan kemudian secara terus menerus namun pasti, lautan nama-nama tersebut menghuni ruang-ruang bawah sadar saya, sehingga sulit dan tak dapat saya singkirkan. Sebuah kebenaran sering kali saya nisbahkan dengan menyebut nama seseorang yang mengutarakan argumen atau pernyataan tertentu. Ketika saya memberikan embel-embel bahwa yang mengutarakan atau mengungkapkan argumen atau proposisi tertentu tersebut berasal dari nama seseorang maka dengan demikian secara tidak langsung saya seperti telah menggenggam kebenaran. Dan saya pun mengetahui bahwa banyak orang yang ketika saya menyebutkan nama tersebut maka orang tersebut dengan senang hati dan penuh ketertundukan akan menganggukkan kepala dan berkata “benar”. Alangkah mudah menundukkan atau memenangkan sebuah pergulatan ide atau debat hanya dengan menyebut kalau ide saya berasal dari sebuah nama.
Selamatkan kami, ya Allah, dari lautan nama-nama!
Ritual penyebutan nama ternyata tidak dapat sepenuhnya saya hindari, seberapapun saya ingin menyingkirkannya. Dari mulai bacaan ilmiah sampai bacaan mistik jawa, lautan nama-nama selalu saja mengekori dan memenuhi gerak langkah perjalananku. Sebuah ritual nama-nama mau tidak mau harus saya gunakan juga, baik suka maupun tidak, karena toch pada akhirnya saya juga harus menggunakan nama saya untuk menggunakan argumen dan pendapat saya. Sayalah salah satu penghuni dari lautan nama-nama, dengan demikian saya tidak pernah dapat memiliki adaan jika saya tidak bernama. Saya memiliki nama, maka saya pun ada.
Selamatkan kami, ya Allah, dari lautan nama-nama!
Mengikuti sebuah ritual bukanlah sesuatu kekeliruan, setidaknya ini menurut saya. Seperti juga saya mau tidak mau harus menyebutkan nama mistikus Islam abad pertengahan, Ibn al ‘Arabi, ketika membuka tulisan singkat ini. Bagi saya mengikuti sebuah ritual penyebutan nama sebisa mungkin saya tempatkan sebagai sebuah upaya penghormatan atau penghargaan pada sejarah. Sejarah yang sering kali memberikan kita pencerahan dalam memahami hidup dan dunia ini, dan juga sebaliknya. Sayapun akhirnya juga merupakan bagian dari sejarah itu sendiri: Sejarah nama-nama.
Tapi sekali lagi, nama bukanlah bukti suatu kebenaran. Nama tidak berarti kebenaran. Sekali lagi, ijinkanlah, saya berseru di dan ke dalam diri yang memiliki nama Haqiqie Suluh ini,” Selamatkan kami, ya Allah, dari lautan nama-nama!”
Hormat saya, seseorang yang memiliki nama
Haqiqie Suluh (Jumat petang, 15 September 2006)
yah walaupun begitu nama tetep penting hehehe. Bagus juga jadi merenung sebentar nih.
Betul Pak Hel, terutama untuk Nama Muhammad.. adakah kita akan meragukan kebenaran perkataan Muhammad Rasulullah ?
pendapat Pak Haq jika utk Selain Muhammad…ok .. setuju sekali.
@helgeduelbek:
Ya… Sebagaimana saya katakan… Kita tak bisa lepas dari Nama-nama…
@sumeleh:
Sayang saya tidak begitu sependapat dengan anda…
Maafkan… Kita memang beda…
ah..’Allah’ yg kamu sebut2 tadi juga cuma ‘nama’…
yup… saya juga sadar itu kok… :D .. btw kalau puisi atau sajak jangan dianalisis secara linguistik mbak or mas chiket… tuh kan puisinya orang lain yang mengispirasi lahirnya tulisan ini, walaupun pemikiran ini sudah saya pikirkan dan yakini sebelum saya mengetahui puisi atau sajak tersebut :D
@chiket
kalau begitu … jangan dilihat namanya, tapi esensinya :)
hmmm…. gitu ya? bisa jadi :d
@watonist
bravo! good point watonist :)
@suluh
makanya pake puisinya sendiri :D he..he..susun semantics yg sempurna
makanya buat postingan sendiri…. :D entar saya komentari deh :D
Makanya jangan lupa baca dulu : Bismillah…