Kita bisa menciptakan alat bantu untuk mengukur kecepatan kendaraan. Kita bisa menciptakan alat bantu untuk melihat isi perut maupun tulang-tulang kita. Kita bisa menciptakan alat bantu untuk melihat aktifitas elektromagnetik yang berada di otak kita. Kita bisa menciptakan alat bantu untuk mendengarkan frekuensi rendah yang diluar batas ambang pendengaran kita. Akan tetapi satu hal yang tidak bisa kita lepaskan dari diri kita untuk mengetahui aktifitas maupun benda-benda dunia, yaitu indera kita.
Mata kita bisa kita gunakan untuk melihat. Telinga kita untuk mendengar. Tangan kita untuk meraba. Pikiran kita untuk memahami dan menganalisis. Hati kita untuk merasai dan mengalami emosi-emosi. Dan masih banyak lagi. Pertanyaannya adalah, “Apakah benar-benar apa yang kita rasa, kita lihat, kita dengar, dan sebagainya memiliki korespodensi atas dunia nyata?” Apakah memang benar apa yang kita, jilat, kita sentuh, sama dengan yang real di dunia nyata?
Kita tahu bahwa kita sering tertipu dengan apa yang kita lihat. Kita juga tahu kita sering tertipu dengan apa yang kita dengar. Belum lagi pengalaman mimpi yang benar-benar menipu diri kita. Dengan demikian segala macam indera kita sebenarnya bukanlah alat yang benar-benar dipercaya untuk mengetahui kebenaran. Penjelasan ini juga memiliki wawasan bahwa tidak ada landasan bagi kepastian terhadap sesuatu yang diluar kita yang kita cerap dengan indera kita, yang benar-benar bisa kita percaya. Pengetahuan yang kita dapatkan dari hasil pencerapan indera kita hanyalah salinan dari realitas aslinya. Dengan idera kitalah kita berusaha melihat realitas aslinya. Atau dengan kata lain, Indera kitalah yang menjadi kaca mata kita. Apakah kita memang tidak memiliki akses langsung terhadap realitas asli?
Kita juga sering mengatakan bahwa kita melihat sesuatu atau mendengar sesuatu. Sesuatu itu sering kali secara alamiah tanpa proses panjang kita sebutkan sebagai “benda” yang ada atau eksis diluar mata kita atau telinga kita. Dengan demikian sesuatu itu ada atau eksis walaupun kita tidak melihat atau tidak mendengarnya. Demikianlah pandangan umum yang berlaku di masyarakat dunia kita.
Secara common sense atau pandangan umum, sesuatu yang kita lihat atau kita cerap memang eksis tanpa memerlukan keberadaan manusia. Ia memang sudah ada dari sononya. Tanpa adanya kita atau manusia pun sesuatu itu bisa ada dan mengada dalam ruang dan waktu. Tetapi beberapa filosof tidak setuju dengan pendapat seperti ini. Sesungguhnya yang ada hanyalah ide atau pikiran saja.
Waduh… Kok saya jadi bingung sendiri ya. Ada yang bisa membantu?
Salam penuh Tanya dalam Ketidakmengertian
Haqiqie Suluh
Link Tulisan Terkait:
01. Aparatus Indera dan Keyakinan Kita
02. Kita dan Interaksi Rasa: Sebuah Proses
03. Menulis dan Pemahamanku
04. Melantur Tak Jelas
05. Sains 2
06. Goa Plato dan pengaruhnya ke dalam pemikiran Kant
07. Apa yang Kuyakini?
08. Cermin Diri dari Masa Bayi: Kesadaran Yang Terinsafi…
09. Hanya Pengen Nulis
10. Wondering Life, Enquiring Death
misalnya..ini misalnya lho..sewaktu kamu lahir tapi tanpa dibekali ‘inderawi’ sehingga tak ada satupun informasi yang masuk,fisikmu terus tumbuh kecuali ‘inderawi’,tetap tak ada satupun informasi yg lolos dari gerbang sensor.apa ‘persepsi’mu setelah..ehm brp ya..26th(?) kemudian?sebelum mempertanyakan eksistensi dan sgalanya,mampukah..sanggupkah berkata ‘aku’ dalam kondisi itu?
eh saya kayaknya udah bahas mengenai hal ini loch chiket :D
lho..jawab saja! :)
halah… :D
luar biasa mas, filsafat telah membuat kita menjadi begitu tolol. pernahkah kita menanyakan apakah alat bantu itu sendiri benar? ah, mungkin akulah yang sesungguhnya tolol hingga hanya mampu berfikir secara sederhana saja? mungkin..
filsafat telah membuat kita menjadi begitu tolol?…. yup saya sangat setuju… membuat kita tolol… semakin bingung… semakin penasaran… dan semakin bertambah wawasan… dan semakin tambah membuat saya berfikir bahwa saya sebenarnya tidak tahu apa-apa…
euh… mungkin kuncinyah ada pada keterbatasan perangkat bantu tersebut yah.. tinggalah untuk menutupi keterbatasan teh kita diisi langsung dari pabriknyah dengan buku panduan… tinggal seteliti apah atuh kita memilih buku panduannyah… atau memilih siapah yang menolong membacakannyah untuk kita… kalau kabayan mah memilih buku yang paling komplit isinyah… sama yang membacakan yang paling jujur… yang tidak menyembunyikan dari apah yang dibacanyah…
wah salut untuk sikabayan yang sudah tahu komplit hanya dengan memilih dan tentunya membaca buku…. sekali lagi salut… :smile:
Memang selalu ada jarak antara “sesuatu” dengan perasaan/indera kita tentang “sesuatu”, karena itulah kadang ada yang namanya kesamaan persepsi antara dua pihak yang mengamati obyek yang sama. Bisa juga ada beda persepsi.
Yang jadi pertanyaan saya adalah : Bila persepsi satu dua orang itu terbatas, apakah kita bisa lebih mendekati yang real bila kita juga meminjam persepsi-persepsi pihak lain.
Pernah mendengar cerita tiga orang buta yang memegang gajah, Mas Suluh ???
secuil kebenaran + secuil kebenaran + dst apakah bisa mendekati kebenaran yang utuh.
Atau malah sebaliknya kesalahan itu menjadi terakumulasi sehingga yang real itu malah jadi semakin jauh ???
@lovepassword: yup. melegenda juga tuh cerita :). lah kita itu juga buta toh (terbutakan oleh indera kita: dogma indera) yang sedang meraba -raba gajah (alam dan diri kita sendiri). Saya pikir, sampai kapanku kebenaran hanya bersifat “asimptotis” tanpa pernah memperoleh kebenaran yang holistik. Ya itu karena kita itu hanya “meraba-raba” dengan alat yang seadanya (bahkan alat yang juga bagian dan mengada pada yang “diraba-raba”)