Ternyata bersikap konsisten dalam berpikir dan berlogika tidaklah semudah yang ku bayangkan. Untuk menjadikan sebuah pemikiran konsisten dari awal sampai akhir dibutuhkan beberapa premis atau asumsi dasar yang kokoh seperti sebuah postulat atau hukum apriori. Disinilah letak kelemahanku dalam berfikir. Pengetahuan dan pengalamanku sangatlah sedikit untuk dapat menyusun sebuah asumsi dasar yang kokoh dan tak tergoyahkan. Setiap kali aku berusaha menyusun argumen dan pemikiran yang konsisten ternyata aku menemui kesulitan karena adanya fakta atau data baru yang menyanggah atau menyangkal asumsi dasarku.
Aku mengetahui hal ini ketika ada ketidakkonsistenan pemikiranku mengenai sesuatu yang subyektif, sewaktu aku berdebat dengan seseorang ternyata aku tidak menggunakan kemampuanku dalam berpkir logis dan konsisten tetapi aku lebih mengandalkan memori dan pengalamanku saja dalam menyangkal atau menentang sebuah pemikiran yang dilontarkan. Ya, pada akhirnya memang aku “menang” dalam pertarungan ide tersebut. Tetapi hal itu bukanlah sebuah sikap yang bijaksana, kemenangan tersebut merupakan buah dari kesombonganku dan kebencianku pada sikap orang yang berdebat denganku.
Setelah aku merenung dan memikirkan apa yang kulakukan tersebut baik dalam segi pemikiran ketika berdebat maupun emosi yang keluar ketika itu, aku menyadari sepenuhnya bahwa hal itu sangat tidak baik bagi diriku dan lawanku karena tidak terbangun suatu dialog yang konstruktif dan positif tetapi malah sebaliknya sebuah pertarungan menang kalah seperti hewan yang berusaha hidup. Yang ada hanya pamer kekuatan dan kepintaran. Survival of the fittest dalam dunia ide dan kesombongan. Semoga aku bisa belajar dari kesalahan ini walaupun ada seseorang yang mengaku sangat berterima kasih karena aku telah mengalahkannya dalam berdebat.
Aku merasa sangat kacau sekarang. Bahkan ketika membaca kembali teks teks pemikiran yang telah aku tulis, aku seperti kehilangan fokus dan konsentrasi serta pemahaman. Aku kembali seperti dulu sewaktu sedang belajar membaca, tak mampu mencerna ide dan pemikiran. Dan aku juga tidak tenang sekarang.
Dari Catatan Lampauku
Tertanggal 23 Desember 2005
Haqiqie Suluh
Apa yang menjadikan kita harus konsisten dalam sebuah perenungan. Bukankah buah hijau semakin matang dan enak untuk dimakan. Bukankah daun itu hijau dan kemudian layu, kering, dan jatuh ke tanah untuk menjadi pupuk untuk hijau daun berikutnya. Bukankah yang konsisten itu justru menunjukkan keakuan yang luar biasa?
@agor: ya konsisten tuh bukan harga mati. KOnsistensi bukanlah sebuah moralitas. Saya menyadari hal itu. Konsisten atau tidak, bukan hal yang begitu urgen bagi kehidupan. Terkadang inkonsistensi itu sangat dibutuhkan.
berhati-hatilah pada saat memunculkan “AKU” pada saat berkata “AKU” pasti berteman dengan kata arogan, sombong, angkuh dan merasa, terhebat. Menganggap orang lain lebih rendah atau lebih bodoh atau lain sebagainya… konsisten itu bukan berarti tidak menerima apa yang orang lain kritikan tentang pendapat kita… atau menolak mentah-mentah semua apa yang mereka lontarkan dalam berpendapat untuk menentang kita… kalo merasa diri sendiri sangatlah seperti orang yang baru belajar membaca itu malah seperti yang setiap hari saya rasakan semakin hari rasanya semakin bodoh saja dan semakin jauh tertinggal dengan perasaan seperti itu yang bisa dilakukan hanyalah belajar-belajar trs…trs…trs… hingga waktu kita mati nanti….
kalo sudah merasa pintas berarti dia orang bodoh…….karena sudah tidak butuh ilmu lagi……
berhati-hatilah pada saat memunculkan “AKU” pada saat berkata “AKU” pasti berteman dengan kata arogan, sombong, angkuh dan merasa, terhebat. Menganggap orang lain lebih rendah atau lebih bodoh atau lain sebagainya… konsisten itu bukan berarti tidak menerima apa yang orang lain kritikan tentang pendapat kita… atau menolak mentah-mentah semua apa yang mereka lontarkan dalam berpendapat untuk menentang kita… kalo merasa diri sendiri sangatlah seperti orang yang baru belajar membaca itu malah seperti yang setiap hari saya rasakan semakin hari rasanya semakin bodoh saja dan semakin jauh tertinggal dengan perasaan seperti itu yang bisa dilakukan hanyalah belajar-belajar trs…trs…trs… hingga waktu kita mati nanti….
kalo sudah merasa pintar berarti dia orang bodoh…….karena sudah tidak butuh ilmu lagi dan tidah mau belajar lagi……
konsistensi bukan lah bentuk dari arogan atau angkuh.tetapi bentuk dari aplikasi sebuah pemikiran.tidak ada yg salah\tidak benar dalam berpikir.namun,masih kurang benar.tetapi,batas pemikiran sebatas dari yg terungkapkan.segalah pemikiran tergantung pada siapa yg menggunakannya.yg mulai qt pkirkan sekrg adalh bagaimna seharusnya qt tk terkuasai oleh pemikiran yg keluar dari akal sehat,bkn berarti utk tdk prcya pda yg tuhan ciptakan.
kayaknya qt haruz mulai dekat dgn TUHAN.
mungkin dgn kata kata(hilangkan aku,hadirkan tuhan)dan mari qt lakukan apa kata kata tersebut.jika tuhan menghendaki,qt pasti tau apa itu yg qt permasalahkn.
konsisten hahus………..!
salam kenal
harus maksudnya…