Prolog
Secara definitif, saya tidak mampu untuk memberikan suatu penjelasan mengenai “apa itu yang dimaksud dengan Moral atau Moralitas?”. Moralitas sejauh pemahaman saya merupakan “penamaan atau labeling” terhadap suatu aksi atau perilaku “keseharian manusia”. Moralitas juga tidak terlepas pada “labeling atau penamaan” yang lain, yang menjadi sejenis “hukum diri atau hukum tak sadar manusia” (yang lebih dekat dan banyak pada proses psikologis dibandingkan kognitif), yang disebut dengan “nilai-nilai, aturang-aturan tak sadar, norma-norma, dan sejenisnya”.
Kekerasan secara definitif juga merupakan sesuatu yang berada dalam wilayah “abu-abu atau samar”, ini menurut saya, entah kalau anda. Kekerasan disini, dalam tulisan ini, berlaku dan hanya berlaku dalam wilayah perilaku manusia dalam hubungannya dengan sesama manusia ditinjau dari aspek fisikal. Artinya, yang dimaksud dengan kekerasan disini mengarah pada perilaku manusia kepada manusia lain yang menyebabkan manusia yang menjadi penderita kekerasan mengalami suatu gangguan fisik atau badaniah: memar, lecet, sobek, pingsan, koma, patah tulang, dan sejenisnya. Kekerasan disini juga berlaku dalam batas hukum sebab akibat. Batasan apa yang dimaksud dengan kekerasan sendiri sering terselubungi dengan suatu nilai atau norma tertentu, yang menjadikan kekerasan fisikal mungkin menjadi sejenis pemakluman dalam diri penderita maupun pelaku.
Sedangkan Pernikahan dalam tulisan ini dimaksudkan pada suatu proses sosial dan atau proses normatif yang diarahkan pada status “suami dan atau istri”. Norma atau nilai tertentu juga berkelindang secara langsung maupun tak langsung dengan Pernikahan. Semisal norma apa yang dilarang atau diboleh dilakukan sebelum dan sesudah berlangsungnya pernikahan.
Selamat Menempuh Hidup Baru Kawan
Pagi ini dan beberapa pagi yang lalu, beserta turunannya siang dan malam, saya dicelotehi, oleh seorang kawan perempuan, yang “terpaksa” menikah karena obsesi bapaknya. Keluh kesah maupun jalinan cerita yang dia ceritakan mungkin sudah menjadi suatu proses yang umum dimasyarakat. Maksudnya adalah, apa yang akan saya sedikit ceritakan secara samar disini, merupakan hal yang sudah dan mungkin akan terjadi.
Secara garis sekte keagamaan, keluarga teman saya ini mirip dengan sebutan yang sering dialamatkan kepada abusalma dan kawan-kawannya di blogosphere ini. Ya, teramat mirip sehingga mau tidak mau saya harus menamakan sekte keagamaan teman saya itu sama persis dengan golongan abusalma dkk.
Di usia yang belum genap 20 tahun, teman perempuan saya ini telah menjadi sejenis ganjalan atau mungkin menjadi suatu beban bagi sang bapak (yang memiliki obsesi tertentu, yang menurut saya, muncul dikarenakan dorongan mengikuti moralitas keagamaan yang dianutnya). Singkatnya dia pengen anaknya yang belum genap 20 tahun ini lekas menikah.
Menurut apa yang dia ceritakan kepada saya, dan menurut cerita dari beberapa temen dekatnya, dia telah mengalami proses “taaruf” dengan lebih dari 20 orang laki-laki. Hal itu mulai berlangsung kurang lebih selepas dia menginjak ke bangku universitas, yang berarti, ketika usianya sekitar 17 atau 18 tahunan. Proses taaruf disini kurang lebih seperti ini: Kedua orang yang ingin ditaarufkan tersebut saling mengisi biodata dengan segala tetek bengeknya plus foto wajah. Kemudian biodata tersebut bertukar tempat. Sang lelaki membaca milik sang perempuan, sang perempuan membaca milik laki laki. Tindak lanjut dari pertukaran text pribadi tersebut adalah mempertemukan secara langsung keduanya.
Ketika bertemu, tukar tanya maupun jawab berlangsung sekaligus memperjelas siapa sesungguhnya sang lelaki atau sang perempuan. Menurut pengetahuan saya dari teman perempuan saya tersebut, biasanya taaruf langsung ini tidak memakan satu hari penuh. Persetujuan atau ketidaksetujuan, bisa dilakukan secara langsung maupun menunggu beberapa waktu kemudian. Bisa ditebak, karena teman saya tersebut mengikuti ritual “taarufan” atau norma atau moralitas “taaruf” tersebut lebih karena keseganan atau keinginan orang tuanya, semua orang yang dikenalkan kepadanya tersebut ditolaknya secara halus. Tidak tanggung tanggung, lelaki yang sering menjadi “idola” kaum perempuan golongan mereka maupun golongan yang dekat atau lumayan mirip dengan mereka pun, ditolaknya.
Namun akhirnya, besok hari senin, tanggal 10 Desember 2007, ia akan menikah. Sang perempuan ini akhirnya takluk pada “seorang laki-laki”. Dia akhirnya “diam” ketika ditanya setuju atau tidak untuk menikah. Diam yang diartikan sebagai anggukan persetujuan.
Sekelumit Cerita
Jangan dikira dia, teman perempuan saya ini takluk pada laki-laki calon suaminya. Perempuan teman saya ini takluk pada “kekerasan fisikal laki-laki yang menjadi bapak biologisnya”. Kekerasan yang menjadikan dia sempat koma selama 3 hari di rumah sakit. Kekerasan yang membuat tubuhnya memar dan luka. Luka badan yang merembet ke luka hati dan takut hati. Kekerasan yang akhirnya menjadikannya takluk dan mengangguk setuju dalam diam ketika “dipaksa” untuk menikah.
Bapak biologisnya memang menghendakinya untuk menikah. Jalan taaruf yang “normal” menurut keyakinannya telah ditempuh sang bapak biologis agar sang putri biologis mau menikah, tetapi pada akhirnya gagal. Sampai suatu ketika, ketika ia memergoki putri biologinya “berpacaran” lewat sms (short message service, lewat hand phone atau mobile phone, biar lebih jelas dan tidak ada yang mempertanyakannya nanti) dengan seorang laki-laki yang tak pernah dijumpainya atau ditemuinya secara langsung, tak pernah mengenal rupanya secara langsung atau secara fisik, sang bapak menemukan solusi yang jitu, yang sangat mungkin muncul karena emosionalitas bawah sadarnya. Moralitas sang bapak biologis ini mengatakan bahwa “berkasih-kasih” lewat sms merupakan moralitas buruk dan mengandung dosa besar, sehingga menurut hukum moral yang dianutnya, sang putri biologisnya ini patut di “rajam”: dicambuk, ditonjok, dan sejenisnya. Matipun tidak apa-apa, mungkin demikian pikiran sang bapak. Ya, hukum Tuhan harus ditegakkan, lebih baik menderita atau mati di dunia atau menerima hukuman di dunia daripada menerima hukuman kekal di akhirat kelak. Dan sang putripun jatuh koma. Ruang rumah sakit selama 3 hari lebih menanggung komanya, sebelum akhirnya dia selamat. Kembali ke rumah, akhirnya putri yang baru sadar dari koma tersebut harus menikah secepatnya, mau tidak mau. Dan putri itu menyerah kalah.
Epilog: Renungan Pendek
Secara hukum positif perilaku kekerasan demi hukuman karena melakukan tindakan moralitas buruk (menurut sang bapak yang dihinggapi kesubjektifan dirinya dalam menerjemahkan hukum sekte keagamaannya), adalah bertentangan. Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) bisa dinisbahkan kepada perilaku seperti itu. Namun sang putri pun masih terbelenggu akan kecemasan masa depan, sehingga harus memutuskan untuk menerima hukuman kekerasan itu. Hutang budi kepada bapak biologisnya juga terlampau banyak. Pernah dan sering dia berkata,”Ah, Abi sudah tua, aku masih muda, biarlah aku begini…”.
Moralitas pada akhirnya bukan merupakan suatu penilaian akan jelek atau buruk, baik atau tidak. Moralitas Kekerasan merupakan suatu pengejewantahan atas nilai-nilai psikologis bawah sadar. Moralitas merupakan sesuatu yang sifatnya arbiter. Saya dulu sempat menuliskan kepada beberapa kawan, bahwa, moralitas itu tidak abadi dalam dirinya sendiri. Moralitas hadir karena manusia dan dalam manusia. Ia bergerak sesuai dengan arah gerak dan perkembangan manusia. Moralitas bisa mengerikan di mata saya, namun bisa menyejukkan di mata mereka.
Adalah perlu dan sangat perlu moralitas hadir dan melingkupi kehidupan maupun perkembangan pribadi manusia. Saya tidak akan menyangkal hal ini. Moralitas atau nilai atau aturan atau apapun itu namanya, seberapapun ingin disingkirkan atau dinihilkan, saya yakin hal tersebut merupakan suatu tindakan sia-sia. Moralitas dalam dirinya sendiri, menurut saya, tidak bisa dinilai baik atau buruk, demikian pula yang dinamakan kekerasan. Akan tetapi saya selalu saja memiliki pendapat atau nilai pribadi mengenai kekerasan yang dilindungi oleh aturan moral.
Kekerasan akan selalu hadir, entah dalam belenggu moral atau tidak. Moralitas akan selalu lahir dan tumbuh. Entah dalam bentuk yang bagaimana. Entah dalam tulisan-tulisan yang dianggap suci, maupun tulisan-tulisan normatif hukum positif, atau nilai keyakinan dalam diri. Yang pasti, moralitas akan selalu menurunkan dirinya ke dalam bentuk nyata: perilaku atau habitual manusia.
Teruntuk: Dirimu yang akan menikah
Ini kado untukmu dariku
Maaf tidak bisa hadir di hari perubahanmu
Selamat menempuh hidup baru
Haqiqie Suluh
PS: Btw, kenapa juga calon suamimu ada nama yang sama denganku!! Huh?! Huh?! Huh?! Pake huruf “e” juga dibelakangnya. Menyebalkan! Dasar nama pasaran! Namun, yang pasti suamimu masih kalah tua dibanding aku, yang berarti usia namaku lebih tua dan lebih dulu muncul dari nama suamimu!! Ha ha ha ha. just joking! Keep Smiling!
panjang banget
save dulu deh
komentar nyusul.
maap ya ^_^
kira2 apa ya tujuan moralitas?
perbedaan menafsirkan ayat lagi, ternyata… :D