Posts Tagged 'bencana'

Mbah Maridjan, Wedhus, Gempa dan Ratu Kidul

Dari mulut ke mulut, dari bibir ke bibir sampailah sebuah cerita ke gendang telingaku. Konon, sewaktu gempa meluluhlantakkan Bantul dan Klaten serta beberapa daerah di sekitarnya, semua itu karena sebuah kelalaian dari sang juru kunci merapi Mbah Maridjan dengan Sang Penguasa Laut Kidul, Nyi Roro Kidul.

Dalam pertapaannya serta ritual tolak bala yang dilakukan oleh Mbah Maridjan guna menghindari kemarahan merapi, ia mendapatkan suatu petunjuk dan kekuatan dari Yang Maha Kuasa. Wedhus gembel yang dimuntahkan Merapi akan mampu ia halau dengan segenap kekuatannya. Wedhus gembel Merapi mampu ia alihkan sasarannya yang semula ke wilayah di sekitar merapi menuju ke manapun Mbah Maridjan ingin membuangnya. Kemudian Mbah Maridjan berfikir mana tempat yang paling tepat untuk membuang wedhus merapi itu. Usul punya usul dipilihlah Australia sebagai tempat buangannya. Anda pasti bisa menebak kenapa? Cerita lengkapnya disini…

Aku dan Bencana II

Minggu (4 Juni 2006), aku beserta lebih dari 30 orang sekampungku pergi ke daerah bantul. Niatnya semula sih mau mendirikan tenda sementara buat keluarga yang terkena bencana. So.. jadilah kami ke daerah Boto Kenceng di daerah Bantul. Di sana ada seorang famili dari salah satu keluarga di dusunku yang membutuhkan uluran tangan.

Memasuki dusun atau kampung Boto Kenceng, ternyata hampir semua bangunan roboh. Aku hanya sempat menghitung 2 buah rumah yang masih berdiri. Itupun tidak secara utuh. Hanya sebagian dari bangunannya saja yang utuh sedangkan bagian yang lain sudah retak atau ambruk.

Dalam satu jam kami berhasil membersihkan satu puing rumah yang roboh, dan satu jam kemudian sebuah tenda sederhana berhasil kami dirikan. Hanya saja setelah itu kami bermaksud untuk membantu merobohkan sebuah rumah yang rusak, karena dinding dan atapnya sudah mau ambruk. Jadi sekalian dirobohkan. Akan tetapi setelah hampir 5 jam dengan seluruh personel yang datang dari kampungku yang berjumlah 30 orang lebih ternyata bangunan rumah tersebut hanya sebagian saja yang bisa dirobohkan. Dan termat sedikit barang-barang yang bisa diselamatkan. So… karena kecapekan dan hari sudah sore kami berpamitan pulang.

Satu hal yang patut dicatat adalah wajah sayu dan layu dari para korban bencana tersebut. Seluruh korban yang kutemui, semuanya menunjukkan raut muka seperti itu. Dan ketika ditanya soal gempa, mata mereka menjadi bekaca-kaca, nada mereka menjadi sendu. Seorang korban bercerita kalau ia baru saja membangun rumah dan ingin memasang keramik di dalamnya tetapi dikarenakan gempa seluruh rumahnya rata dengan tanah. Seorang lagi bercerita kalau anaknya hampir terkubur setengah badan dalam puing reruntuhan tetapi alhamdulilah, kata dia, anaknya berhasil diselamatkan. Seorang lagi bercerita kalau ia ketika gempa sedang tidur dan tiba-tiba ia sudah berada di luar rumah ketika gempa sudah usai dengan bermacam-macam luka di badannya tanpa ia sadari bagaimana ia tadi bisa keluar.

Masih bercerita tentang gempa. Seorang maling yang ketahuan mencuri di daerah gempa dan berhasil ditangkap oleh warga dibakar hidup-hidup. Seorang maling lagi dibacok kepalanya oleh penangkapnya dan kemudian diumpankan pada anjing-anjing herder di sebuah kantor brimop.

Aku tidak bisa membayangkan kengerian yang dirasakan oleh warga gempa serta trauma yang dirasakan. Sewaktu merobohkan rumah warga gempa seolah-olah aku kemudian disadarkan pada kengerian gempa itu sendiri. Suara gemuruh. Atap yang ambruk. Debu yang beterbangan. Tembok yang runtuh. Semuanya seolah-olah tampak di depan mata. Hanya saja sewaktu gempa terjadi tidak hanya satu rumah yang roboh namun beribu-ribu. Bisa aku bayangkan kengeriannya. Di tambah lagi gempa tersebut tidak hanya menggoyang bumi ke kanan dan ke kiri namun juga ke atas dan ke bawah sehingga kehancuran serta kedahsyatannya berkali lipat.

Alam dihadapan kita dalam kedahsyatannya bisa menjadi berkah kehidupan….. dan juga berkah kematian….. dan kemudian kita tersadar kita bukan apa apa….

Aku dan Bencana

Hari rabu aku tergerak untuk menyaksikan efek gempa di daerah Jogjakarta dengan mata kepalaku sendiri. Dalam hatiku seolah-olah tergerak sebuah kehendak yang dahsyat akan keinginan itu. Aku rasa hal tersebut dikarenakan bencana yang menimpa daerah tersebut letaknya tidak begitu jauh dari tempat tinggalku. Sekitar satu setengah jam perjalanan dengan kendaraan bermotor. Hal tersebut sangat berbeda dengan kondisi aceh yang pernah mengalami bencana yang lebih dahsyat yang karena jaraknya dari tempatku teramat jauh sehingga kemungkinanku untuk kesana sangat tipis.

Dengan membawa bantuan sekedarnya aku menapakkan petualangan di daerah bencana dengan soeorang teman. Awal masuk ke kota Jogja, efeknya belum terlihat jelas. Namun memasuki kawasan kota Jogja daerah selatan aku mulai melihat puing-puing yang tersisa dari bencana itu sendiri. Semakin jelas ketika kemudian aku melanjutkan perjalananku ke daerah selatan. Rumah banyak yang roboh. Tidak ada yang dapat menyangkal kenyataan tersebut. Di manapun aku menolehkan pandangan pasti terdapat kenyataan tersebut. Tanpa berpanjang lebar mengenai kerusakan ini, karena anda dapat menyaksikan di tayangan televisi anda, aku meneruskan perjalananku.

Sampai di daerah perbukitan terjal di daerah Dlingo aku memutuskan memberikan bantuan yang aku bawa. Disana tidak banyak terdapat posko bencana. Aku rasa ditempat itu korban belum tertangani dengan baik. Setelah melihat-lihat kerusakan yang ada, aku memutuskan untuk tidak berlama-lama di daerah tersebut. Aku pun pulang.

Jika anda menyaksikan sendiri saya rasa anda sebagai seorang manusia pasti akan tergerak hatinya. Dalam empati diri anda akan muncul aksi yang penuh kasih. Saya kok yakin dengan hal ini. Kecuali hanya bagi orang-orang yang telah terbiasa mengabaikannya.

Oh bencana… oh bencana… Kaulah manifestasi dari Kehendak yang tak terkenali.

Cat: anda bisa merasa ada nada kering ditulisanku, bisa ditebak kenapa?

Woww! Gempa, gempa

Anda tentunya sudah mendengar berita hari ini mengenai gempa yang terjadi di Jogjakarta dan sekitarnya. Gempa yang terjadi kalau tidak salah sekitar pukul 6 pagi Waktu Indonesia Barat. Aku menjadi salah satu saksi dari kejadian tersebut. Inilah beberapa kesaksian yang bisa aku ungkapkan dari kejadian tersebut.

Pagi belum begitu naik. Mendung belum lagi terlihat di langit. Gunung Merapi masih cerah dengan semburan asap solfataranya yang tak seberapa. Anak sekolah masih mempersiapkan kepergiannya ke sekolah masing-masing. Mandi, makan pagi, pakai baju seragam, dll. Sedangkan para pekerja batu ditempatku belum beranjak ke tempat kerjanya. Hanya orang-orang yang menyambung hidup di pasar saja yang telah menggerakkan badannya menuju tempat kerjanya. Sedang aku sendiri, lagi kebelet mau buang hajat.

Di toilet selagi menunaikan kewajiban harianku tersebut, seketika itu bumi berguncang, suara denting gelas dan piring serta perabotan rumah tangga di rumahku bergemertak tak karuan. Getaran jendela kaca rumah menyuarakan kengerian gempa. Ruang toilet seakan-akan bergerak ke kanan dan ke kiri. Kakiku seakan-akan menjejak tanah yang labil. Seiring keterkejutan yang dirasakan tubuhku, muncul perasaan ngeri dan kalut dari dalam hatiku. Belum lagi sempat menuntaskan sisa fesesku dalam perutku aku pun hendak lari keluar dari dalam kamar mandi. Namun, sebelum sempat niatku terlaksana, gempa kemudian berhenti. Walaupun demikian gempa tersebut telah menghentikan naluri buang hajatku. Akupun bergegas keluar dari ruang toilet sesegera mungkin setelah aku membersihkan diri.

Diluar toilet, dentingan perabotan dapur belum berhenti. Ibuku berteriak-teriak histeris meminta semua orang keluar dari rumah. Listrik mati seketika. Kolam di depan rumah masih bergolak seakan-akan sebuah ember yang sedang diguncang-guncang. Air muncrat membahasahi setiap tepi kolam. Kesemuanya itu terjadi walau gempa sudah berhenti. Naluri rasioku mengatakan Gunung Merapi sedang meletus, demikian pula naluri rasio banyak orang di sekitarku. Berlarianlah orang melihat merapi di balik Kampung. Untuk sementara, naluriku mendapatkan buktinya. Gumpalan asap hitam turun dan bergulung-gulung dari puncak merapi. Menandakan muntahan lava dan wedhus gembel yang akan menyapu setiap yang dilintasinya. Banyak orang histeris. Banyak orang berdecak. Banyak orang berdebar.

Selang beberapa menit, muncul ruang komunikasi antar manusia. Paman dan Bibiku yang berada di Kalimantan serta Semarang yang memperoleh berita dari televisi menanyakan keadaan kami. Kami baik-baik saja di Muntilan, demikian jawaban yang bisa kami berikan. Aku sempat pula berkomunikasi dengan temanku di Jogja yang kemudian ia menyatakan bahwa di daerah Klaten Wonosari dan Purworejo banyak bangunan yang hancur. Tidak berapa lama kemudian muncul isu tsunami yang menggemparkan banyak orang di muntilan. Sebuah kepanikan memang sangat mudah memunculkan sebuah isu yang seringkali tidak merupakan hasil bukti yang kuat.

Hari ini, hanya melalui berita di televisi (listrik sudah kembali hidup), aku menerima berita bahwa ratusan nyawa melayang, ribuan orang terluka, kesemuanya itu kebanyakan berasal dari daerah Jogja bagian Selatan. Bantul dan sekitarnya mengalami kerusakan dan korban jiwa yang paling parah. Ternyata aku baru tahu kemudian bahwa guncangan gempa bumi bukan berasal dari meletusnya Gunung Merapi tapi Berasal dari dasar Samudra. Gempa itu bukan gempa vulkanik, melainkan gempa tektonik.

Alam bergejolak… Jiwa melayang… mungkin… inilah arti dari kehidupan…

Merapi dalam Ingatan dan Kesaksianku

Dari balik dusun yang aku tinggali, Merapi yang notabene merupakan salah satu lahan pencarian sebagian besar penduduk yang tinggal di desaku, kelihatan dengan jelas dan terang, terutama saat pagi hari dimana awan tidak sedang menyelimuti gunung tersebut. terletak di sebelah kiri Gunung Merapi, menjulang juga Gunung Merbabu. Kalau aku mengira-ira mungkin jaraknya dari desaku sekitar 14 km, itu kalau diukur dari puncak Merapi itu sendiri. Apa yang aku maksudkan bahwa Merapi merupakan lahan atau ladang pencarian sebagian penduduk yang tinggal di desaku, secara lebih jelas kujelaskan seperti berikut.

Gunung Merapi terkenal dengan keaktifannya dalam mengeluarkan material dari dalam perut bumi yang disebut dengan lava. Entah itu keluar dalam bentuk lava pijar maupun lava dingin. Lava yang keluar tersebut, menurut yang aku dapat dari pelajaran geografi atau IPA dahulu di sekolah, membentuk batuan beku, baik itu berupa bongkahan yang besar maupun serpihan kecil seperti pasir, kerikil dan sebagainya.

Di pinggiran Muntilan sebelah barat laut yang berbatasan dengan Kecamatan Mungkid terletak sebuah pusat kerajinan batu yang cukup terkenal di daerah Muntilan. Prumpung demikian nama daerah tersebut. Dimasa kecilku, mungkin hanya daerah tersebutlah yang merupakan jantung dari kesenian memahat batu. Namun lambat laun, perkembangan ekonomi dari segi permintaan konsumen akan kerajinan ini membuat perkembangan seni pahat batu ini sampai juga di dusunku.

Proses pemahatan batu tentunya membutuhkan ketersedian batu sebagai bahan dasar. Kebutuhan akan ketersediaan batu dalam jumlah yang besar seiring dengan meningkatnya perkembangan seni memahat batu ternyata dapat dipenuhi dengan kelimpahan sumber bahan baku ini dari tempat pembentukan awalnya yaitu lereng Merapi. Karena alasan inilah, aku menyebut Merapi merupakan tulang punggung kehidupan perekonomian di daerahku, khususnya dalam kasus perekonomian bagi pemahat batu.

Keberkahan akan adanya sumber dan lahan kehidupan yang berasal dari Merapi ini juga merupakan salah satu alasan bagi para penduduk yang hidup di lereng Merapi enggan meninggalkan kampung mereka walaupun apapun yang terjadi. Bebarapa minggu ini yang terberitakan di media massa bahwasanya Merapi memunculkan ancaman bagi keselamatan penduduk di lerengnya dikarenakan aktivitas erupsi lava yang disertai dengan munculnya awan wedhus gembel tidak begitu cepat dapat menyadarkan warga disekitar Merapi untuk meninggalkan tempat tinggalnya dan kemudian mencari perlindungan di tempat yang lebih aman.

Pagi ini, sekitar jam 6 pagi (tulisan ini kutulis tanggal 15 Mei 2006), di dusunku tersentakkan oleh suatu peristiwa yang cukup menggugah perhatian warganya. Sebuah awan wedhus gembel dengan kapasitas yang lumayan besar meluncur turun dari puncak Merapi membentuk suatu gambaran keindahan yang jarang ditemui. Aku mencatat hampir sekitar 30 orang yang tinggal di dusunku berduyun duyun ke belakang dusun guna menyaksikan peristiwa ini. Dari bayi sampai nenek-nenek pun terpesona oleh keindahan serta kengerian yang ditimbulkannya. Dari belakang dusunku atau lebih tepatnya dari sebelah tenggara dusunku Merapi kelihatan begitu jelas dan menjadi salah satu tempat yang cukup strategis untuk digunakan sebagai lahan memandang Merapi.

Ibuku yang sempat menyaksikan kengerian serta kekaguman akan awan panas sempat bertemu dengan orang-orang yang ingin berjualan di Pasar talun yang kemudian setelah menyaksikan wedhus gembel yang sedemikian besar, mengurungkan niatnya pergi, atau mungkin juga dari analisisku, setidaknya menunda keberangkatannya guna memastikan apakah Merapi dalam keadaan yang aman atau belum. Hal tersebut menunjukkan bahwa walaupun penduduk lereng Merapi tidak begitu takut untuk tinggal di sekitarnya tetapi ketika dengan mata dan kepalanya sendiri menyaksikan kedahsyatan kekuatan Merapi akhirnya mau tidak mau harus mengubah pandangannya untuk sementara bahwa Merapi memang sedang benar-benar menebarkan ancamannya. Keputusan mengungsi merupakan salah satu hal yang rasional untuk dilaksankan. Akan tetapi masih ada juga sebagian dari penduduk yang tinggal di lereng Merapi yang tidak mengindahkan tanda-tanda alam ini dan masih juga enggan meninggalkan tempat tinggalnya. Kepercayaan atas keselamatan dirinya didasarkan pada keyakinan adat atau budaya bahwa Merapi tidak akan menyerang dusunnya atau dirinya. Atau mungkin juga merupakan sejenis kepongahan atau kebanggaan pribadi yang timbul atas dasar kesombongan pada keberanian atau kenekatannya. Mungkin saja…

Keelokan peristiwa kemunculan wedhus gembel sekaligus kengerian yang dimunculkannya sempat mengingatkanku akan peristiwa di tahun 1994 dimana ketika waktu itu Merapi meletus dengan kedahsyatan luar biasa. Dalam peristiwa meletusnya Merapi di tahun 1994 tersebut tidak hanya wedhus gembel yang telah menelan korban jiwa dengan debu panasnya yang melelehkan kulit serta membakar rambut, tetapi juga debu debu yang diterbangkannya telah menutupi langit Muntilan selama lebih dari dua jam. Di kala itu aku masih duduk di kelas 2 SMP. Perasaan ngeri yang muncul waktu itu masih aku ingat dengan jelas.

Di Laboratorium Biologi ketika sedang melakukan eksperiment yang dipandu oleh Pak Hesti waktu itu, terdengar suara hujan yang cukup deras diiringi dengan gelapnya suasana. Ketika salah satu dari temanku menyadari bahwa hujan yang sedang terjadi tersebut bukan merupakan hujan yang biasa melainkan hujan debu dan abu yang diikuti dengan dedaunan yang jatuh mengering seperti terbakar, kami lalu bergemuruh keluar dari laboratorium untuk ikut menyaksikan peristiwa tersebut. Selang tidak lebih dari sepuluh menit suasana yang penuh kekaguman dan keasyikan karena keanehan yang ditimbulkan oleh peristiwa tersebut (kami pertama-tama pada gembira dan merasa wah) tiba-tiba berubah menjadi kepiluan dan kengerian. Beberapa teman putri kemudian sadar bahwa bencana sedang menghadang. Guruku menyuruh untuk masuk kembali ke kelas meninggalkan laboratorium. Ternyata sesampainya di kelas banyak murid perempuan yang menangis pilu. Kegalauan dan kegudahan muncul dari dalam kelas. Beberapa anak kemudian mengambil Al Quran dan mencoba membacanya. Mungkin untuk berdoa dan mungkin juga untuk menenangkan hatinya. Kemudian takbir dan tahmid berkumandang diseluruh kelas. Suasana galau dan kacau melanda seluruh kelas. Hanya beberapa anak saja yang masih tetap tenang.

Seorang temanku memanggil-manggil ibunya, sambil terus sesenggukan menahan tangisnya. Yang lain menyembunyikan kepalanya di balik kedua tangannya menutupi tangisannya. Mata merah serta berkaca-kaca hampir terjadi pada semua murid. Tidak ada gelak tawa, tidak ada canda, tidak ada pembicaraan, semua merenung dan menghikmati peristiwa tersebut. Demikian peristiwa itu terjadi hampir selama 1,5 jam sebelum kemudian debu dan abu yang turun mulai reda. Guru pun memutuskan bahwa hari itu kita segera dipulangkan kerumah.

Sewaktu pulang kepulan debu dan abu serta bau belerang terbakar masih menebarkan terutama jika ada kendaraan yang lewat. Karena beterbangannya debu dan abu tersebutlah aku mengalami kesulitan untuk kembali pulang kerumah. Pandanganku kabur serta jika ada debu yang masuk kemata menimbulkan rasa perih yang cukup mengganggu apalagi jika debu terhirup ke hidung. Menutup hidung dan memincingkan mata guna menghindari peristiwa tersebut menjadi reflek penyelamatanku. Aku juga masih ingat ketika itu bahwa aku memutuskan untuk tidak mengambil jalan utama sebagai jalan pulangku. Alih-alih aku kemudian menyusuri perkampungan penduduk untuk menghindari kepulan debu dan abu dari kendaraan bermotor yang menebarkannya.

Kengerian masih menyelimuti perasaanku. Peristiwa yang sampai saat ini masih tergores dengan jelas dalam ingatanku. Akankah itu berulang kembali di tahun 2006 ini? Entahlah tapi aku yakin bahwa hal itu akan terjadi lagi cepat atau lambat karena demikianlah perilaku alam yang ada.

 


Haqiqie Suluh Facebook Profile

Tentang Aku

Banyak hal yang berubah seiring berlalunya waktu, Demikian pula Saya, Haqiqie Suluh, baik dalam hal pandangan atau keyakinan. Selanjutnya saya hanya ingin memberitahu bahwa terhadap apa apa yang telah saya tuliskan di blog ini, sangat mungkin bukan lagi merupakan pandangan dan keyakinan saya saat ini, karena ternyata saya telah banyak berubah, anda pun saya yakin sedang dan telah berubah juga. Semoga dimengerti.
Peringatan!!!

Anda Boleh Memaki, Anda Boleh Mencaci, Tetapi Jangan Sebar Spam or Promosi. Segala Bentuk Komentar yang Berbau Spam dan Promosi akan Langsung Saya Hapus! Tanpa Kecuali!

BOLEH COPY PASTE

Anda DIPERBOLEHKAN KOPI PASTE Semua Artikel atau Tulisan yang Ada disini

Syaratnya satu: Cantumkan Link Blog ini di dalam Artikel yang Anda KOPI PASTE!!

Suluh Numpang Nulis