Dari balik dusun yang aku tinggali, Merapi yang notabene merupakan salah satu lahan pencarian sebagian besar penduduk yang tinggal di desaku, kelihatan dengan jelas dan terang, terutama saat pagi hari dimana awan tidak sedang menyelimuti gunung tersebut. terletak di sebelah kiri Gunung Merapi, menjulang juga Gunung Merbabu. Kalau aku mengira-ira mungkin jaraknya dari desaku sekitar 14 km, itu kalau diukur dari puncak Merapi itu sendiri. Apa yang aku maksudkan bahwa Merapi merupakan lahan atau ladang pencarian sebagian penduduk yang tinggal di desaku, secara lebih jelas kujelaskan seperti berikut.
Gunung Merapi terkenal dengan keaktifannya dalam mengeluarkan material dari dalam perut bumi yang disebut dengan lava. Entah itu keluar dalam bentuk lava pijar maupun lava dingin. Lava yang keluar tersebut, menurut yang aku dapat dari pelajaran geografi atau IPA dahulu di sekolah, membentuk batuan beku, baik itu berupa bongkahan yang besar maupun serpihan kecil seperti pasir, kerikil dan sebagainya.
Di pinggiran Muntilan sebelah barat laut yang berbatasan dengan Kecamatan Mungkid terletak sebuah pusat kerajinan batu yang cukup terkenal di daerah Muntilan. Prumpung demikian nama daerah tersebut. Dimasa kecilku, mungkin hanya daerah tersebutlah yang merupakan jantung dari kesenian memahat batu. Namun lambat laun, perkembangan ekonomi dari segi permintaan konsumen akan kerajinan ini membuat perkembangan seni pahat batu ini sampai juga di dusunku.
Proses pemahatan batu tentunya membutuhkan ketersedian batu sebagai bahan dasar. Kebutuhan akan ketersediaan batu dalam jumlah yang besar seiring dengan meningkatnya perkembangan seni memahat batu ternyata dapat dipenuhi dengan kelimpahan sumber bahan baku ini dari tempat pembentukan awalnya yaitu lereng Merapi. Karena alasan inilah, aku menyebut Merapi merupakan tulang punggung kehidupan perekonomian di daerahku, khususnya dalam kasus perekonomian bagi pemahat batu.
Keberkahan akan adanya sumber dan lahan kehidupan yang berasal dari Merapi ini juga merupakan salah satu alasan bagi para penduduk yang hidup di lereng Merapi enggan meninggalkan kampung mereka walaupun apapun yang terjadi. Bebarapa minggu ini yang terberitakan di media massa bahwasanya Merapi memunculkan ancaman bagi keselamatan penduduk di lerengnya dikarenakan aktivitas erupsi lava yang disertai dengan munculnya awan wedhus gembel tidak begitu cepat dapat menyadarkan warga disekitar Merapi untuk meninggalkan tempat tinggalnya dan kemudian mencari perlindungan di tempat yang lebih aman.
Pagi ini, sekitar jam 6 pagi (tulisan ini kutulis tanggal 15 Mei 2006), di dusunku tersentakkan oleh suatu peristiwa yang cukup menggugah perhatian warganya. Sebuah awan wedhus gembel dengan kapasitas yang lumayan besar meluncur turun dari puncak Merapi membentuk suatu gambaran keindahan yang jarang ditemui. Aku mencatat hampir sekitar 30 orang yang tinggal di dusunku berduyun duyun ke belakang dusun guna menyaksikan peristiwa ini. Dari bayi sampai nenek-nenek pun terpesona oleh keindahan serta kengerian yang ditimbulkannya. Dari belakang dusunku atau lebih tepatnya dari sebelah tenggara dusunku Merapi kelihatan begitu jelas dan menjadi salah satu tempat yang cukup strategis untuk digunakan sebagai lahan memandang Merapi.
Ibuku yang sempat menyaksikan kengerian serta kekaguman akan awan panas sempat bertemu dengan orang-orang yang ingin berjualan di Pasar talun yang kemudian setelah menyaksikan wedhus gembel yang sedemikian besar, mengurungkan niatnya pergi, atau mungkin juga dari analisisku, setidaknya menunda keberangkatannya guna memastikan apakah Merapi dalam keadaan yang aman atau belum. Hal tersebut menunjukkan bahwa walaupun penduduk lereng Merapi tidak begitu takut untuk tinggal di sekitarnya tetapi ketika dengan mata dan kepalanya sendiri menyaksikan kedahsyatan kekuatan Merapi akhirnya mau tidak mau harus mengubah pandangannya untuk sementara bahwa Merapi memang sedang benar-benar menebarkan ancamannya. Keputusan mengungsi merupakan salah satu hal yang rasional untuk dilaksankan. Akan tetapi masih ada juga sebagian dari penduduk yang tinggal di lereng Merapi yang tidak mengindahkan tanda-tanda alam ini dan masih juga enggan meninggalkan tempat tinggalnya. Kepercayaan atas keselamatan dirinya didasarkan pada keyakinan adat atau budaya bahwa Merapi tidak akan menyerang dusunnya atau dirinya. Atau mungkin juga merupakan sejenis kepongahan atau kebanggaan pribadi yang timbul atas dasar kesombongan pada keberanian atau kenekatannya. Mungkin saja…
Keelokan peristiwa kemunculan wedhus gembel sekaligus kengerian yang dimunculkannya sempat mengingatkanku akan peristiwa di tahun 1994 dimana ketika waktu itu Merapi meletus dengan kedahsyatan luar biasa. Dalam peristiwa meletusnya Merapi di tahun 1994 tersebut tidak hanya wedhus gembel yang telah menelan korban jiwa dengan debu panasnya yang melelehkan kulit serta membakar rambut, tetapi juga debu debu yang diterbangkannya telah menutupi langit Muntilan selama lebih dari dua jam. Di kala itu aku masih duduk di kelas 2 SMP. Perasaan ngeri yang muncul waktu itu masih aku ingat dengan jelas.
Di Laboratorium Biologi ketika sedang melakukan eksperiment yang dipandu oleh Pak Hesti waktu itu, terdengar suara hujan yang cukup deras diiringi dengan gelapnya suasana. Ketika salah satu dari temanku menyadari bahwa hujan yang sedang terjadi tersebut bukan merupakan hujan yang biasa melainkan hujan debu dan abu yang diikuti dengan dedaunan yang jatuh mengering seperti terbakar, kami lalu bergemuruh keluar dari laboratorium untuk ikut menyaksikan peristiwa tersebut. Selang tidak lebih dari sepuluh menit suasana yang penuh kekaguman dan keasyikan karena keanehan yang ditimbulkan oleh peristiwa tersebut (kami pertama-tama pada gembira dan merasa wah) tiba-tiba berubah menjadi kepiluan dan kengerian. Beberapa teman putri kemudian sadar bahwa bencana sedang menghadang. Guruku menyuruh untuk masuk kembali ke kelas meninggalkan laboratorium. Ternyata sesampainya di kelas banyak murid perempuan yang menangis pilu. Kegalauan dan kegudahan muncul dari dalam kelas. Beberapa anak kemudian mengambil Al Quran dan mencoba membacanya. Mungkin untuk berdoa dan mungkin juga untuk menenangkan hatinya. Kemudian takbir dan tahmid berkumandang diseluruh kelas. Suasana galau dan kacau melanda seluruh kelas. Hanya beberapa anak saja yang masih tetap tenang.
Seorang temanku memanggil-manggil ibunya, sambil terus sesenggukan menahan tangisnya. Yang lain menyembunyikan kepalanya di balik kedua tangannya menutupi tangisannya. Mata merah serta berkaca-kaca hampir terjadi pada semua murid. Tidak ada gelak tawa, tidak ada canda, tidak ada pembicaraan, semua merenung dan menghikmati peristiwa tersebut. Demikian peristiwa itu terjadi hampir selama 1,5 jam sebelum kemudian debu dan abu yang turun mulai reda. Guru pun memutuskan bahwa hari itu kita segera dipulangkan kerumah.
Sewaktu pulang kepulan debu dan abu serta bau belerang terbakar masih menebarkan terutama jika ada kendaraan yang lewat. Karena beterbangannya debu dan abu tersebutlah aku mengalami kesulitan untuk kembali pulang kerumah. Pandanganku kabur serta jika ada debu yang masuk kemata menimbulkan rasa perih yang cukup mengganggu apalagi jika debu terhirup ke hidung. Menutup hidung dan memincingkan mata guna menghindari peristiwa tersebut menjadi reflek penyelamatanku. Aku juga masih ingat ketika itu bahwa aku memutuskan untuk tidak mengambil jalan utama sebagai jalan pulangku. Alih-alih aku kemudian menyusuri perkampungan penduduk untuk menghindari kepulan debu dan abu dari kendaraan bermotor yang menebarkannya.
Kengerian masih menyelimuti perasaanku. Peristiwa yang sampai saat ini masih tergores dengan jelas dalam ingatanku. Akankah itu berulang kembali di tahun 2006 ini? Entahlah tapi aku yakin bahwa hal itu akan terjadi lagi cepat atau lambat karena demikianlah perilaku alam yang ada.
Komentar Anda